26 Desember 2017

PULASARI

Het meer Dano en de bergen Karang en Pulu-Sari by C.W.M. van de Velde, 1843-1845, Tropenmuseum

Nama Pulosari adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Pandeglang, nama ini juga merujuk pada satu gunung yang terkenal dalam sejarah kebudayaan Banten masa lalu. Penamaan Pulasari atau Pulosari kemungkinan adalah nama sebuah tanaman yang banyak tumbuh liar di daerah pegunungan, namun tanaman dimaksud sering pula disebut Palasan dengan nama latin alyxia stellate yang termasuk kedalam keluarga apocynaceae. Ia merupakan tanaman merambat dengan kulit batang berwarna putih dan memiliki wangi tertentu, serta rasanya yang pahit. Tanaman ini tumbuh liar di hutan dan di ladang ada daerah pegunungan. Kulit batangnya mengandung zat samak, kumarin, zat pahit, dan alkaloida.



Keterangan mengenai Pulasari dalam sejarah Banten banyak ditemukan. Diceritakan bahwa Gunung Pulasari memerankan peranan yang sangat penting terutama pada periode kerajaan ‘Sunda’ di Banten Girang. Gunung Pulasari memiliki nilai kekeramatan tersendiri berkaitan dengan kekuasaan politik Sunda seperti yang dicatat oleh Guilot dkk. (1996) menyatakan bahwa Gunung Pulasari sampai Abad ke XVI masih menjadi tempat paling keramat di Banten dan sebagai pusat suci Komunitas Hindu.

Dalam manuskrip Babad Banten (Djajadiningrat, 1983)sebuah cerita tentang perjalanan Islamisasi di daerah Banten diawali dari Sultan Gunung Jati bersama putranya Hasanuddin datang datang dari Pakungwati  (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat Banten. Setibanya di Banten, Sunan Gunung Jati bersama anaknya Hasanuddin melakukan serangkaian upacara keagamaan di Gunung Karang, Pulasari dan Lancar (Aseupan). Dalam perjalanannya Sunan Gunung Jati menyatakan bahwa Gunung Pulasari meupakan tempat tinggal 800 ajar (domas) yang dipimpin oleh Pucuk Umun. Konon ceritanya setelah Hasanuddin berhasil mengalahkan Pucuk Umun melalui adu ayam. Hasanuddin kemudian tinggal bersama ajar di Gunung Pulasari selama sepuluh tahun lebih. Selain di Gunung Pulasari, Hasanuddin juga melakukan perjalanan dakwah ke daerah lainnya. Sesekali ia tinggal di Gunung Karang, dan bahkan sampai ke Pulau Panaitan.

Informasi mengenai pentingnya Gunung Pulasari dimasa lalu diceritakan pula bahwa Raja Pajajaran terakhir yang bernama Ragamulya atau Prabu Surya Kancana memerintah Pajajaran tidak berkedudukan di Pakuan, melainkan di Pulasari, Pandeglang sehingga disebut Pucuk Umun (Panembahan Pulasari). Kerajaan di Pulasari agak susah ditembus sehingga baru pada masa pemerntahan Maulana Yusuf dapat direbut oleh Pasukan Islam.

Sebagai pusat peribadatan atau mungkin sebagai pusat pemerintahan di Gunung Pulasari pernah ditemukan bukti-bukti tentang itu, yaitu ditemukan sejumlah arca Siwa, Durga, dan Ganesha. Tinggalan-tinggalan lain juga banyak ditemukan diseputaran Gunung Pulasari, seperti Situs Citaman-Batu Goong, Arca Sanghyang Dengdek, Dolmen Batu Ranjang, terakhir ditemukan adalah Genta Pandita di Desa Salangari, Kec. Mandalawangi, Pandeglang, Banten.

DIsalin dari Buku Toponimi/Sejarah Nama-nama Tempat Berdasarkan Cerita Rakyat
Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Banten 2014

Penyusun: Juliadi & Neli Wachyudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar