Ngarengkong pare/padi merupakan salah satu rangkaian adat yang menjadi tradisi masyarakat Kasepuhan yang ada di Desa Adat di sekitar Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Salah satunya rangkaian adat kegiatan ini dilaksanakan oleh masyarakat Kasepuhan Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten.
Ngarengkong adalah ritual mengangkut/memindahkan padi dari sawah tangtu atau sawah adat untuk dipindahkan ke lumbung padi yang dalam bahasa lokal disebut Leuit. Ngarengkong merupakan kegiatan tahunan yang dirayakan masyarakat bersama tokoh masyarakat dan tokoh adat yang sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.
Padi yang dihasilkan dari ritual ngarengkong tidak boleh diperjual belikan, padi tersebut akan disimpan di leuit sebagai cadangan saat paceklik atau untuk digunakan ketika ada acara adat di Kasepuhan adat Citorek ataupun dipergunakan untuk masyarakat yang sedang kesusahan. Hal ini merupakan gambaran bentuk kehidupan sosial budaya masyarakat dimasa lalu yang masih tetap di jaga oleh masyarakat Adat Sunda yang ada di Kabupaten Lebak khususnya hal ini juga sebagai gambaran dari konsep ketahanan pangan yang masih tetap dijaga dan menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat adat. Ngarengkong adalah ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas apa yang mereka telah peroleh yaitu padi setiap tahunnya.
Sementara Ngunjal adalah kegiatan mengangkut secara bertahap dari satu tempat ke tempat lainnya, kegiatan ngarengkong ini diawali dengan “ngadudut” pare dari “lantaian”, dimana padi yang dijemur atau telah dikeringkan selama kurang lebih 2 (dua) minggu kemudian di dudut (diambil) untuk dirapikan dan diikat menjadi “pocongan”. Ikatan pocongan sendiri maksudnya yaitu 1 Pocong terdiri dari 3 (tiga) ikatan atau 3 (tiga) kepal tangan batangan padi yang dijemur. Kemudian disimpan pada rengkong dengan jumlah antara 6 (enam) pocong sampai 8 (delapan) pocongan.
Rengkong sendiri terbuat dari bambu yang diberi lubang memanjang di kedua ujungnya, pada lubang tersebut kemudian disimpan tali ijuk yang berfungsi juga sebagai ikatan untuk membawa pocongan padi. Pada saat padi tersebut dibawa, para pembawa rengkong akan sengaja menggoyangkan padi mereka dengan maksud untuk menghasilkan bunyi yang keluar dari bambu seirama dengan langkah kaki para pembawa rengkong.
Kegiatan ini masih mengikuti tradisi turun temurun, karena masih mengikuti kebiasaan lama yang berlaku di masyarakat dimana ngarengkong dilaksanakan setelah musim panen atau dalam bahasa lokal disebut dengan nama dibuat yang dilakukan hanya 1 (satu) tahun 1 (satu) kali sesuai dengan aturan bertanam padi di Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek.
Kemeriahan dapat dirasakan pada proses ngarengkong, tidak sedikit masyarakat yang kemudian mendokumentasikan hingga menyemangati para pembawa rengkong dengan cara membunyikan petasan. Bahkan tidak sedikit pengguna jalan yang tertarik kemudian berhenti lalu mengambil kamera untuk mendokumentasikan acara tersebut.
Selain itu, tidak sedikit masyarakat yang kemudian memberikan saweran berupa uang atau barang yang lainnya kepada pembawa rengkong, dengan maksud untuk menyemangati para pembawa rengkong yang berjalan dari Sawah menuju ke Leuit. Para pembawa rengkong kemudian berjalan menuju ke Alun-alun Kasepuhan dan kembali memperlihatkan bawaan mereka dengan cara berjalan memutari alun-alun, biasanya masyarakat akan memberikan saweran kembali kepada para pembawa rengkong tersebut. Setelah selesai, para pembawa rengkong ini kemudian lanjut menuju ke leuit adat yang terpisah dari pemukiman penduduk untuk menyimpan padi yang dibawanya.
Setelah para pembawa rengkong tiba di tujuan meraka yaitu leuit adat kemudian memindahkan padi yang dibawanya, kemudian semua unsur masyarakat dipersilahkan untuk berkumpul bersama melaksanakan syukuran dengan memanjatkan do’an dan menyantap nasi tumpeng yang telah disediakan, dan dalam kesempatan itu juga kegiatan interaksi dan diskusi dapat dilakukan antara pengunjung, masyarakat dan juga tokoh adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar