Dibuat Oleh: Dadan Sujana
ditulis ulang ku kuring (Kang Imang)
Pesta baru saja usai. Para ponggawa
kerajaan sibuk merapikan bekas perhelatan besar. Kapal-kapal delegasi
negara-negara sahabat, menarik jangkar meninggalkan bibir pelabuhan kerajaan,
yang baru saja usai diresmikan Sang Maharaja. Pelabuhan yang pengerjaannya
dimulai mulai tanggal 7 bagian terang bulan Margasia 320 Saka (15 Desember 398
Masehi), dan selesai satu tahun kemudian, yaitu tanggal 14 bagian terang bulan Posya
tahun 321 Saka (11 November 399 Masehi) berada di pesisir utara Jawadwipa, tak
jauh dari istana raja.
Kilauan bendera-bendera kerajaan yang
berkibar di atas tiang-tiang kapal layar, sedikit demi sedikit lenyap ditelan
sang malam, diterpa ombak pantai utara Jawadwipa. Deru langkah puluhan gajah
dan derap ratusan kuda yang pulang menyusur jalan darat, menyisakan debu dan
telapaknya di luar istana raja, membawa berita dan kenangan kebesaran kerajaan
besar di Jawadwipa, Tarumanagara.
Riuh masyarakat pribumi melepas
kepergian utusan kerajaan-kerajaan sahabat, dalam tabuhan gong dan genderang,
seakan menitipkan pesan untuk diembarkan kepada dunia, bahwa Tarumanagara
kerajaan besar di Jawadwipa sudah memiliki pelabuhan laut dan istana baru
ibukota Purasaba Sundapura di tepi Sungai Gomati, tak jauh dari Candrabaga,
sungai besar yang berarti ‘bulan separuh’, candra/çaçi = bulan, baga = bagian.
(nama ini kemudian berubah menjadi bagaçaçi [dibaca: bagasasi], yang lama
kelamaan menjadi bekasi).
Langit mulai gelap, sang mentari
bergeser lenyap di ujung barat, sinarnya dititip rembulan purnama penuh. Di
dalam istana yang baru saja dibangun, Sang Maharaja Purnawarman, raja muda
berumur 27 tahun, terlihat berbincang dengan Mahamantri.
“Paman Mahamantri, belum genap lima tahun
saya menggantikan ayahanda Rajaresi Darmayawarman, tapi saya sudah berani
memindahkan ibukota. Tidakkah ini perbuatan yang salah?” tanya Sang
Purnawarman.
“Ampun Sri Maharaja… menurut paman,
pemindahan ibukota dari Jayasingapura ke Sundapura bukan hal yang salah,”
Mahamantri menjawab sambil menunduk.
“Sang Maharesi Jayasingawarman
Gurudarmapurusa, kakek Sang Maharaja, yang mendirikan Tarumadesya, selalu
berpesan wilayah ini harus terus berkembang,” tambah Mahamantri.
Sambil membuka lembar demi lembar pustaka
rajya i bhumi jawadwipa, babon sejarah kerajaan Tarumanagara, Mahamantri
menceritakan kedatangan kaum keluarga besar Pallawa yang mengungsi ke Jawadwipa
dan bergabung bersama warmanwamca (Dinasti Warman), penguasa Salakanagara.
“Paman Mahamantri, menurut paman
apakah setelah Sundapura menjadi ibukota, kita akan besar sebagaimana keinginan
pendahuluku? Ampun Sang Maharesi Jayasingawarman…,” Sang Purnawarman kembali
bertanya seraya menunduk mengenang jasa kakek buyutnya.
“Ampun Sang Maharaja… Dipilihnya
Sundapura di tepi Sungai Gomati ini oleh Sang Maharaja sebagai ibukota, adalah
benar dan tepat,” jawab Mahamantri.
“Babon sejarah kerajaan mencatat,
kebesaran pendahulu kita, Salakanagara, mendirikan ibukotanya Rajatapura tira
ning sagara, yakni di tepi pantai. Dan.. dibangunnya pelabuhan, adalah langkah
nyata Sang Maharaja untuk mengembangkan kerajaan ini menjadi negara maritim,
apalagi kita sudah memiliki kapal-kapal besar… ampun Sri Maharaja Purnawarman,”
ujar Mahamantri meyakinkan Raja Purnawarman.
“Terimakasih Mahamantri, kalau memang
langkahku benar, aku tidak merasa berdosa kepada pendahuluku… Ampun Sang
Jayasingawarmanguru Dharmapurusa Sang Maharsi Rajadirajaguru… Ampun Sang
Rajaresi Dharmawarmanguru… Semoga Dewa menerimamu…,” sambil menunduk ditempelkannya
kedua telapak tangan dalam posisi ‘meyembah’, Maharaja Purnawarman berkirim doa
untuk kakek dan ayahandanya.
Malam makin larut percakapan maharaja
dengan mahamantri semakin serius. Terbersit rencana besar Purnawarman untuk
memperbaiki alur perairan di wilayah Tarumanagara, melanjutkan pekerjaan Sang
Jayasingawarman Rajadirajaguru yang pernah memperbaiki, memperindah, dan
memperkokoh tebing sungai Candrabaga, guna kesejahteraan rakyat dan kemakmuran
negara.
Wilayah Tarumanagara yang dihiasi
banyak aliran sungai, melintas kota menembus desa, menjadi modal kerajaan ini
untuk mengembangkan perdagangan di wilayahnya. Sungai Gangga yang melintas di
Indraprahasta (Cirebon), Sungai Cupu di Cupunagara, Sungai Gomati dan
Candrabaga yang meliuk indah di ibukota, serta Citarum, sungai besar yang
menjadi inspirasi penamaan kerajaan ini.
Sementara itu indahnya bayangan bulan
yang membentang di atas Sungai Gomati terusik oleh tetes hujan yang satu demi
satu membuyarkan lamunan Sang Maharaja Purnawarman.
“Paman Mahamantri… tanggal berapa
ini?” Purnawarman menyela penjelasan Mahamantri yang sedang asyik mengutak-atik
rencana pembangunan kerajaan.
“Ampun Sang Maharaja… malam ini
tanggal empat belas bagian terang bulan Posya,” Mahamantri menjawab tegas,
seraya menengok bulan penuh yang nampak dari jendela istana.
Seketika air muka Sang Purnawarman
berubah, di luar angin malam berhembus kencang, gemerecik air hujan menghujam
sungai Gomati mengusik ingatan Maharaja akan seorang Menteri yang ditugaskan
tujuh bulan silam untuk meninjau wilayah barat Tarumanagara.
“Paman Mahamantri, sudah lebih tujuh
purnama Paman Menteri belum kunjung pulang. Perasaanku tidak enak… semoga tidak
terjadi apa-apa. Dewa Wisnu Sang Penguasa Jagat… selamatkan Paman Menteri
bersama tujuh pengawalnya…”
Bulan di atas Gomati mulai memudar,
dihempas cahaya mentari dari Timur yang menyilaukan pandang. Lalu-lalang sampan
dan perahu-perahu kecil melintas di atas Sungai Gomati melewati halaman istana
raja, sementara di pelabuhan riuh para saudagar dan pelancong memulai kehidupan
pagi melakukan aktifitas perdagangannya.
Sebuah kapal bertiang tinggi merapat
ke bibir dermaga pelabuhan, seorang juritsagara (awak kapal) terhuyung bergegas
menuju penguasa pelabuhan, membawa kabar untuk Sang Maharaja Tarumanagara.
“Paman Mahamantri… siapkan kapal-kapal
besar! Lengkapi dengan senjata! Jangan lupa Airawata…! Saat ini juga harus kita
tumpas para perompak yang berani mengusik harimau Jawadwipa, wyaghra ning
jawadwipa!” dalam kemarahan Sang Maharaja Purnawarman berteriak lantang,
setelah menerima kabar Menteri dan tujuh pengawalnya dibunuh oleh para perompak
di perairan Teluk Lada pesisir barat Tarumanagara.
“Paman Mahamantri… bawa para prajurit
perang yang handal! Biar aku yang paling depan, memimpin pertempuran ini!”
Di depan ratusan prajurit dan ribuan
rakyat Tarumanagara, Sang Maharaja Purnawarman mengenakan pakaian perang yang
membalut seluruh tubuhnya, di atas tunggangan Gajah Airawata, ia berteriak
lantang, “Wahai prajurit bhayangkara…! Wahai rakyat Taruma…! Kita akan menumpas
habis siapapun yang berani mengusik kedaulatan wilayah kita…! Kita tidak akan
tinggal diam…! Dewa Batara Indra… lindungi perjalanan kami, jadikan kami Sang
Purandara Saktipurusa, manusia sakti penghancur benteng…!” teriak lantang Sang
Purnawarman membakar semangat prajurit bhayangkara dan rakyat Taruma.
“Hidup Sri Maharaja Purnawarman…!
Hidup Bhimaparakramoraja, raja yang perkasa dan dahsyat…! Hidup wyaghra ning
tarumanagara, harimau dari Tarumanagara…!” riuh lantang para prajurit
bhayangkara dan sorak rakyat Tarumanagara mendukung dan mendoakan perjuangan
Sang Purnawarman.
Airawata berhias padma dan brahmara,
berjalan tegap membawa Sri Maharaja Purnawarman menuju kapal yang di atasnya
berkibar panji nagadhuajarupa, berbentuk lukisan naga. Diikuti ratusan prajurit
bhayangkara menuju geladak kapal perang Angkatan Laut Tarumanagara. Sedangkan
ratusan prajurit bhayangkara berkuda yang lain, berlari melalui darat mengikuti
arah matahari sirna di ujung barat Jawadwipa.
Perairan utara Jawadwipa terlewati,
kapal layar meliuk terdorong angin menuju selat Sunda. Di sisi kanan, nampak
jelas semburan api apuynusa (Krakatau), seakan tahu dan larut dalam kemaharan
Sang Maharaja Purnawarman.
Peperangan tak dapat dihindari, air
laut seketika memerah, pasir pantai dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan. Dalam
sekejap perairan barat Teluk Lada bergejolak, angin berhembus kencang, debur
ombak menghempas karang menambah suasana menjadi tegang. Prahara di barat
Jawadwipa, bhayangkara Tarumanagara berjuang untuk negara.
“Batara Indra lindungi kami…! Maju
wyaghra ning tarumanagara…! Bhayangkara jaya…!” teriak Sang Purnawarman di
sela-sela desing tombak dan kilatan ratusan panah yang melintas cepat.
Satu-dua prajurit bhayangkara
Tarumanagara gugur di medan perang, namun pasukan Tarumanagara terlalu kokoh
untuk ditaklukan, serangan bertubi-tubi dari laut dan dihempas pasukan berkuda
dari darat, membuat para perompak lari tunggang langgang menuju daratan melalui
muara dan sungai-sungai yang nampak di bibir pantai barat Jawadwipa.
Ketika puluhan perompak memasuki celah
Sungai Ciliman, Sang Purnawarman memacu Airawata, mengejar, menghantam dan
menumpas para perompak hingga tuntas tak tersisa.
Akhirnya setelah melewati deretan
pohon angsana yang indah di tepi sungai Ciliman, pasukan prajurit bhayangkara
tiba di sebuah lembah Munjul pinggiran sungai Ciliman. Rakyat dan masyarakat
Munjul bersorak riang, mengelu-elukan kedatangan Sri Maharaja Purnawarman.
“Hidup Raja Taruma…! Hidup Maharaja
Purnawarman…! Hidup Bhayangkara…! Hidup Airawata..!” teriak penduduk sambil
bersorak riang menyaksikan barisan rombongan prajurit Taruma seraya
membayangkan menikmati kemerdekaan yang sejati.
Bagi Sang Maharaja Purnawarman,
sebagaimana ajaran ayahanda Rajaresi Darmayawarmanguru, yang memilih hidup menjadi
manurajasunya (bertapa sampai ajal tiba), sudah menjadi kebiasaan, di setiap
daerah selalu menemui panghulu kampung dan berdiam untuk beberapa hari di
kampung tersebut.
Menembus semak belukar, menerjang
lereng terjal, langkah tegap Gajah Airawata membuka jalan pasukan Sang
Purnawarman menuju lembah Lebak, di tepi Sungai Cidanghyang.
Hamparan huma di lereng-lereng bukit
dan deretan leuit (lumbung padi) menghiasi perkampungan pribumi Lebak,
masyarakatnya yang santun dalam balutan busana hitam dan putih berikat kepala,
menambah kesejukan wilayah pedalaman Tarumanagara ini.
Di atas bukit dinding sungai
Cidanghyang yang meliuk melingkar mengalir tenang, teronggok batu tegak menhir
dan terhampar dolmen serta batu-batu bulat berbentuk bola, pertanda wilayah ini
adalah pretakaryam (kampung pemujaan) yang masyarakatnya masih menganut
pitarapuja (menyembah roh nenek moyang), yang berbeda dengan ajaran Sang
Purnawarman.
“Tabe Sapun… Maharaja Purnawarman…
neda agung nya paralun…,” panghulu kampung Lebak memberi salam dan menerima
Sang Maharaja Purnawarman, seraya menyerahkan sirih setampin, didampingi Jaro
Kampung di sisi kanannya.
“Sungguh indah daerah ini Paman,” ujar
Sang Purnawarman sambil mengunyah gulungan sirih sekapur, seraya menyaksikan
polah tingkah puluhan lutung bergelantungan di atas batang pohon di tepi Sungai
Cidanghyang, seakan menyambut kedatangan penguasa daerahnya.
Walaupun berbeda bahasa, obrolan Sang
Purnawarman dengan Panghulu Kampung terasa hangat dan bersahabat. Ini karena
Sang Purnawarman selalu membawa jurubasa, yang mengerti dan memahami setiap
bahasa asing.
Telah habis tiga gulung sirih,
Panghulu Kampung Lebak meminta kepada Sang Purnawarman agar dibuatkan tanda
kekuasaan Tarumanagara di daerahnya.
“Tabe sapun… Sang Maharaja… kalau
boleh kami meminta, buatkanlah sebaris kata-kata indah di atas batu sebagai
tanda pengakuan Maharaja kepada kami,” pinta panghulu kampung seraya
menambahkan, “Meski kami tak memamahi bahasa Maharaja, tanda kekuasaan Maharaja
itu akan tetapi kami rawat dan jaga.”
Atas permohonan itulah, Sang Maharaja
Purnawarman memerintahkan kepada jurubasa dan jurupahat agar membuat prasasti
dan ukiran telapak kakinya di atas batu yang terhampar di atas sungai
Cidanghyang.
Dalam bahasa sanskerta berhurup
pallawa, terpahat indah satu sloka dalam metrum anustubh, kalimat:
“vikrantayam vanipateh prabbuh
satyaparakramah
narendraddhvajabutena crimatah
purrnavarmmanah”
(ini tanda penguasa dunia yang
perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala
raja, yang termashur Purnawarman)
Sementara telapak kaki Sang Maharaja
Purnawarman dipahat di atas batu lain, yang tidak jauh dari prasasti tersebut.
Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara
Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati, penguasa Tarumanagara,
panji segala raja, telah menorehkan tanda kekuasannya di lembah subur Sungai
Cidanghyang, Lebak, sebagai tanda kekuasan Tarumanagara di sebelah barat
Jawadwipa. Rakyat Lebak semakin yakin, kemerdekaan, perdamaian, dan keamanan
akan terus mereka rasakan. Ciliman kembali tenang, lembah Munjul semakin
muncul, deret pohon-pohon angsana tak lagi merana.
***
Catatan: Situs prasasti (batu tulis)
Cidangiang, terletak di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang,
Provinsi Banten.
Sumber Bacaan:
Bahrudin (Juru Pelihara Situs),
“Cerita Rakyat Tentang Situs Batutulis”, (tidak diterbitkan)
Djafar, Hasan, dkk. 1988. “Bibliografi
Beranotasi Tarumanagara”, Universitas Tarumanagara, Jakarta
Iskandar, Yoseph, dkk. 2001. “Sejarah
Banten”, Tryana Sjam’un Corp, Jakarta
Poerbatjaraka, 1952. “Riwajat
Indonesia”, Jajasan Pembangunan, Djakarta
Sujana, Dadan, 2004. “Riwayat
Pandeglang”, Disparsenibud Kab. Pandeglang
Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang. Cariknya namanya Carik Empu.
BalasHapusNama desa "Munjul" banyak di beberapa daerah.namun di ciamis nama "Munjul" adalah sebuah Kampung.. dan banyak juga kutipan sejarah yang sulit di ungkap.
BalasHapus